Senin, 05 Mei 2014

Kebudayaan kuningan

  1. SENI CINGCOWONG
                                                                    
Cingcowong adalah salah satu upacara ritual (zaman dulu)  untuk meminta hujan yang dilakukan pada saat musim kemarau panjang. Tradisi uapacara ritual minta hujan atau cingcowong ini dipercayi oleh masyarakat khususnya Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan yang dilaksanakan agar  turun hujan dan lahan pertanian mereka terhindar dari kemarau yang panjang.

Alat  yang dipakai untuk uapacara yaitu :

1.             Satu buah taraje
2.             Satu buah samak /tikar
3.             Boneka cingcowong yang terbuat dari batok kelapa yang dilukis menyerupai putri cantik dengan badan terbuat dari rangkaian  bambu yang diberi baju dan sampur serta diberi kalung yang terbuat dari  bunga melati.
Cingcowong ini dimainkan oleh :
1.             Satu orang Punduh (Pemandu upacara )
2.             2 orang pemegang sampur ketika digerakan (gerakan mirip jaelangkung )
3.             2 orang pemain/penabuh buyung yang dipukul pleh kipas/hihid dan satu orangnya lagi memainkan alat musik ceneng yang terbuat dari bahan kuningan,  property pendukung lainya yaitu : berupa sesajen seperti menyan,kaca,sisir,ember.
Sejak jaman dahulu upacara ini menjadi tradisi jika selama 3 bulan hujan belum turun, maka dilakukan upacara meminta hujan yang dinamakan cingcowong. Umur seni cingcowong ini diperkirakan ± 632 tahun,pada perkembangannya,untuk melestarikan seni cingcowong DNR salah satu Sanggar Binaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan mencoba membuat satu tarian Cingcowong dan tarian ini merupakan salah satu usaha agar seni tadisi  tidak menjadi punah. Pertunjukan tari Cingcowong ciptaanya tidak lagi sebagai seni ritual tetapi sudah dikembangkan dan diangkat menjadi seni pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman sehingga sekarang seni tari Cingcowong berkembang dan sering ditampilkan pada acara-acara seremonial baik kebutuhan menyambut tamu Pemerintah dan acara hiburan lainya.

  1. SEREN TAU
Upacara seren taun di Cigugur Kuningan adalah upacara masyarakat agararis, yang merupakan salah satu media dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang telah diterima seiring dengan harapan agar dimasa yang akan datang hasil panen seluruh anggota masyarakat dapat lebih melimpah lagi, yang diwujudkan dengan penyerahan hasil panen kepada sesepuh adat.
Penyelenggaraan dimulai dengan upacara ngajayak (menyambut) pada tanggal 18 Rayagung, kemudian dilanjutkan pada tanggal 22 Rayagung dengan upacara penumbukan padi sebagai puncak acara, dengan disertai beberapa kesenian tradisional masyarakat agraris sunda tempo dulu, seperti ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending karesmen, tari bedaya, upacara adat ngareremokeun dari masyarakat kanekes baduy, goong renteng, tari buyung, angklung buncis dogdog lojor, reog, kacapi suling dan lain-lain yang mempunyai makna dan arti tersendiri, khususnya bagi masyarakat sunda.
  1. SAPTON DAN PANAHAN TRADISIONAL

                                                                                                               

Secara etimologi dan historis, bahwa kegiatan Sapton dan Panahan Tradisional adalah acara rutin setiap hari sabtu setelah kegiatan serba raga (sidang) yang dilaksanakan disekitar istana kerajaan Kajene (Kuningan) dan mempunyai makna yang dalam seperti heroisme,
Ketangkasan berkuda dan panahan dalam bela negara serta kebersamaan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dalam upaya  promosi kepariwisataan  daerah dan pelestarian nilai-nilai budaya tradisional daerah serta memeriahkan hari  jadi  Kuningan, setiap tahun pada bulan September diselenggarakan Saptonan dan Panahan Tradisional.






  1. KAWIN CAI
           
Upacara Adat Kawin Cai merupakan tradisi masyarakat Desa Babakanmulya Kecamatan Jalakasana Kabupaten Kuningan untuk memohon air/turun hujan untuk mengairi lahan pertanian,
Dilaksanakan apabila terjadi kemarau panjang atau sangat sulit untuk mendapat air antar bulan September, dengan mengambil lokasi disumber mata air telaga balong Tirta Yarta pada malam Jum`at Kliwon, pada pelaksanaannya selain dihadiri dan diikuti oleh pamong desa. Tokoh masyarakat desa setempat juga oleh masyarakat desa tetangga yang lahan pertaniannya terairi dari sumber mata air telaga/ Balong Dalem Tirta Yarta.
Selesai berdo`a punduh/sesepuh desa mencampurkan air yang diambil dari mata air telaga/ Balong Dalem Tirta Yarta dengan air yang diambil dari mata air Cikembulan (Cibulan), inilah istilah yang dipakai masyarakat sebagai Upacara Adat Kawin Cai yang intinya mengambil barokah air dari dua sumber mata air.
  1. SINTREN
            
Sintren di Kabupaten Kuningan tumbuh di daerah Kuningan sebelah timur berada di Desa Dukuh Badag dan bantar panjang Kecamatan Cibingbin berbatasan dengan Jawa Tengah. Seni ini sudah ada sejak tahun 1930. Seni ini berasal dari Daerah Pesisir antara Cirebon dan Losari Jawa Tengah, dibawa oleh orang-orang Urbanisasi dalam rangka buruh menuai padi pada musim panen di Kecamatan Cibingbin.
Sebagai pelepas lelah dari menuai padi, malam harinya mengadakan pentas Sintren tanpa mendapat upah dan berpindah-pindah tiap malam dari satu halaman ke halaman lain. Untuk kegairahan pentas, para penonton menjadi donatur dengan cara membungkus uang receh dilemparkan ke arena pentas.
Uniknya Sintren selama pentas dalam keadaan tidak sadar. Awalnya Sintren di ikat dan dibungkus tikar, bisa masuk kedalam kurung / ranggap dan bisa berdandan meski dalam keadaan terikat. Selanjutnya ikatan bisa lepas sendiri dan Sintren menari menuruti irama lagu yang dilantunkan. Lagu – lagunya berbahasa Jawa dan Sunda.
Waditra terdiri dari 6 ruas bambu bervariasi tanpa nada. Gendangnya menggunakan Buyung besar dan kecil. Goongnya dari ruas bambu besar ditiup dengan ruas bambu kecil.
Sekarang Sintren bisa berkorelasi dengan seni lain dan bisa untuk pentas kehormatan pada acara penting dan bisa memenuhi panggilan hajat. Seni Sintren dilestarikan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan September 1998 dan didukung oleh Bupati, Bapak Unang Sunarjo, SH. Dan diberi nama “ SENI SINTREN DEWI SUPRABA “ Pimpinan DU. Sahrudin. Diera otonomi Seni Sintren dilestarikan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan.
  1. CALUNG
        Seni Calung adalah bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tatar sunda, Kabupaten Kuningan yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya wisata budaya yang melimpah.
Dalam perkembangannya seni Calung terbagi kedalam 2 (dua) jenis diantaranya ;
1.     Seni Calung Tradisional
2.     Seni Calung Modern
Seni Calung Tradisional adalah seni Calung dengan memakai alat atau waditra yang masih sederhana.
Seni Calung Modern adalah seni Calung yang sudah dimodifikasi baik dari waditra yang ada atau adanya penambahan waditra baru (modern) seperti : Gitar, Keyboard dll.
Dimasa sekarang karena tuntutan dan mengikuti arus perubahan global jaman, pentas seni Calung harus dapat menyajikan sebuah seni pertunjukan yang kreatif dan inofatif, sehingga pesan yang akan disampaikan menjadi komunikatif.
Dari kenyataan diatas salah satu upaya penyelamatan dari kepunahan seni Calung, kami dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan berupaya menampilkan seni Calung tersebut untuk event-event nasional maupun internasional dalam rangka mengangkat citra Kabupaten Kuningan sebagai daerah tujuan wisata alam dan budaya untuk menyongsong cita-cita Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi terdepan dan termaju tahun 2010.
                  Waditra yang digunakan terdiri dari ;
Ø  Calung 1
Ø  Calung 2
Ø  Calung 3
Ø  Calung 4
Fungsi dari masing-masing waditra ;
Ø  Calung 1 sebagai melodi yang berperan sebagai dalang
Ø  Calung 2 sebagai melodi 2 untuk mempertegas irama lagu
Ø  Calung 3 sebagai pengiring lagu
Ø  Calung 4 sebagai Goong
Dalam penampilan pentas seni Calung untuk lebih memperkaya dan memperindah suasana penampilan pentas biasanya didukung dengan jenis waditra lain seperti ;
Ø  Kendang
Ø  Terompet
Ø  Saron 1
Ø  Saron 2
Ø  Demung
Ø  Peking
Ø  Bonang
Ø  Goong
Ø  Rincik
Ø  Kenong
Ø  Gitar
Ø  Keyboard
Jalannya pentas seni Calung ;
1.     Tatalu atau Bubuka (Overtone)
2.     Perkenalan secara keseluruhan oleh dalang
3.     Tabuhan Kreasi melalui gerak dan iringan lagu atau instrumetal
4.     Pentas lagu dari pemain atau juru kawih yang diikuti oleh tarian atau ibingan pemain secara bergiliran
5.     Lawakan
6.     Tabuhan kerasi
7.     Dalang memberi ucapan akhir
8.     Tabuhan / Penutup

      7.     BEDAH SITU

Kegiatan rutinitas desa Cilowa  dalam rangka syukuran untuk mensejahterakan rakyat banyak, terutama rakyat desa setempat (masyarakat desa cilowa). Situ ditanami bibit ikan oleh pemerintah desa, selama kurun waktu ± 1 (satu) tahun masyarakat desa cilowa boleh menikmati hasilnya dengan cara “ Bedah Situ”. Pada awal cerita Bapak Kepala Desa memberikan arahan kepada masyarakat, yang inti arahannya yaitu bahwa Situ adalah kekayaan kita, dipelihara oleh kita dan hasilnya bisa dinikmati bersama oleh kita semua.
Semula yang boleh mengikuti rebutan ikan di Situ hanyalah diutamakan masyarakat yang tidak mampu tapi pada kenyataannya semua masyarakat yang hadir boleh turun untuk memungut ikan dengan cara ditangkap oleh tangan. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Cilowa Kecamata Kramatmulya Kabupaten Kuningan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar