Kebudayaan kuningan
- SENI CINGCOWONG
Cingcowong
adalah salah satu upacara ritual (zaman dulu)
untuk meminta hujan yang dilakukan pada saat musim kemarau panjang. Tradisi
uapacara ritual minta hujan atau cingcowong ini dipercayi oleh masyarakat
khususnya Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan yang dilaksanakan agar turun hujan dan lahan pertanian mereka
terhindar dari kemarau yang panjang.
Alat yang dipakai untuk uapacara yaitu :
1.
Satu buah taraje
2.
Satu buah samak
/tikar
3.
Boneka cingcowong yang terbuat dari batok
kelapa yang dilukis menyerupai putri cantik dengan badan terbuat dari
rangkaian bambu yang diberi baju dan
sampur serta diberi kalung yang terbuat dari
bunga melati.
Cingcowong
ini dimainkan oleh :
1.
Satu orang Punduh (Pemandu upacara )
2.
2 orang
pemegang sampur ketika digerakan (gerakan mirip jaelangkung )
3.
2 orang
pemain/penabuh buyung yang dipukul pleh kipas/hihid dan satu orangnya lagi
memainkan alat musik ceneng yang terbuat dari bahan kuningan, property pendukung lainya yaitu : berupa sesajen seperti menyan,kaca,sisir,ember.
Sejak jaman
dahulu upacara ini menjadi tradisi jika selama 3 bulan hujan belum turun, maka
dilakukan upacara meminta hujan yang dinamakan cingcowong. Umur seni cingcowong
ini diperkirakan ± 632 tahun,pada perkembangannya,untuk melestarikan seni
cingcowong DNR salah satu Sanggar Binaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Kuningan mencoba membuat satu tarian Cingcowong dan tarian ini
merupakan salah satu usaha agar seni tadisi tidak menjadi punah. Pertunjukan tari
Cingcowong ciptaanya tidak lagi sebagai seni ritual tetapi sudah dikembangkan
dan diangkat menjadi seni pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan
jaman sehingga sekarang seni tari Cingcowong berkembang dan sering ditampilkan
pada acara-acara seremonial baik kebutuhan menyambut tamu Pemerintah dan acara
hiburan lainya.
- SEREN TAU
Upacara seren taun di Cigugur Kuningan adalah
upacara masyarakat agararis, yang merupakan salah satu media dalam
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang
telah diterima seiring dengan harapan agar dimasa yang akan datang hasil panen
seluruh anggota masyarakat dapat lebih melimpah lagi, yang diwujudkan dengan penyerahan
hasil panen kepada sesepuh adat.
Penyelenggaraan dimulai dengan upacara ngajayak
(menyambut) pada tanggal 18 Rayagung, kemudian dilanjutkan pada tanggal 22
Rayagung dengan upacara penumbukan padi sebagai puncak acara, dengan disertai
beberapa kesenian tradisional masyarakat agraris sunda tempo dulu, seperti
ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending karesmen, tari bedaya, upacara
adat ngareremokeun dari masyarakat kanekes baduy, goong renteng, tari buyung,
angklung buncis dogdog lojor, reog, kacapi suling dan lain-lain yang mempunyai
makna dan arti tersendiri, khususnya bagi masyarakat sunda.
- SAPTON DAN PANAHAN TRADISIONAL
Secara etimologi dan historis, bahwa kegiatan
Sapton dan Panahan Tradisional adalah acara rutin setiap hari sabtu setelah
kegiatan serba raga (sidang) yang dilaksanakan disekitar istana kerajaan Kajene
(Kuningan) dan mempunyai makna yang dalam seperti heroisme,
Ketangkasan
berkuda dan panahan dalam bela
negara serta kebersamaan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dalam
upaya promosi kepariwisataan daerah dan pelestarian nilai-nilai budaya
tradisional daerah serta memeriahkan hari
jadi Kuningan, setiap tahun pada
bulan September diselenggarakan Saptonan dan Panahan Tradisional.
- KAWIN CAI
Upacara Adat Kawin Cai merupakan tradisi
masyarakat Desa Babakanmulya Kecamatan Jalakasana Kabupaten Kuningan untuk
memohon air/turun hujan untuk mengairi lahan pertanian,
Dilaksanakan apabila terjadi kemarau panjang
atau sangat sulit untuk mendapat air antar bulan September, dengan mengambil
lokasi disumber mata air telaga balong Tirta Yarta pada malam Jum`at Kliwon,
pada pelaksanaannya selain dihadiri dan diikuti oleh pamong desa. Tokoh
masyarakat desa setempat juga oleh masyarakat desa tetangga yang lahan
pertaniannya terairi dari sumber mata air telaga/ Balong Dalem Tirta Yarta.
Selesai berdo`a punduh/sesepuh desa
mencampurkan air yang diambil dari mata air telaga/ Balong Dalem Tirta Yarta
dengan air yang diambil dari mata air Cikembulan (Cibulan), inilah istilah yang
dipakai masyarakat sebagai Upacara Adat Kawin Cai yang intinya mengambil
barokah air dari dua sumber mata air.
- SINTREN
Sintren di Kabupaten Kuningan tumbuh di
daerah Kuningan sebelah timur berada di Desa Dukuh Badag dan bantar panjang
Kecamatan Cibingbin berbatasan dengan Jawa Tengah. Seni ini sudah ada sejak
tahun 1930. Seni ini berasal dari Daerah Pesisir antara Cirebon dan Losari Jawa
Tengah, dibawa oleh orang-orang Urbanisasi dalam rangka buruh menuai padi pada
musim panen di Kecamatan Cibingbin.
Sebagai pelepas lelah dari menuai padi,
malam harinya mengadakan pentas Sintren
tanpa mendapat upah dan berpindah-pindah tiap malam dari satu halaman ke
halaman lain. Untuk kegairahan pentas, para penonton menjadi donatur dengan
cara membungkus uang receh dilemparkan ke arena pentas.
Uniknya Sintren selama pentas dalam
keadaan tidak sadar. Awalnya Sintren di ikat dan dibungkus tikar, bisa masuk
kedalam kurung / ranggap dan bisa berdandan meski dalam keadaan terikat. Selanjutnya
ikatan bisa lepas sendiri dan Sintren
menari menuruti irama lagu yang dilantunkan. Lagu – lagunya berbahasa Jawa dan
Sunda.
Waditra terdiri dari 6 ruas bambu
bervariasi tanpa nada. Gendangnya menggunakan Buyung besar dan kecil. Goongnya
dari ruas bambu besar ditiup dengan ruas bambu kecil.
Sekarang Sintren bisa berkorelasi dengan
seni lain dan bisa untuk pentas kehormatan pada acara penting dan bisa memenuhi
panggilan hajat. Seni Sintren dilestarikan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan pada bulan September 1998 dan didukung oleh Bupati, Bapak Unang
Sunarjo, SH. Dan diberi nama “ SENI SINTREN DEWI SUPRABA “ Pimpinan DU.
Sahrudin. Diera otonomi Seni Sintren dilestarikan
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan.
- CALUNG
Dalam
perkembangannya seni Calung terbagi kedalam 2 (dua) jenis diantaranya ;
1. Seni
Calung Tradisional
2. Seni
Calung Modern
Seni Calung
Tradisional adalah seni Calung dengan memakai alat atau
waditra yang masih sederhana.
Seni Calung Modern
adalah seni Calung yang sudah dimodifikasi baik dari waditra yang ada atau
adanya penambahan waditra baru (modern) seperti : Gitar, Keyboard dll.
Dimasa sekarang karena tuntutan dan
mengikuti arus perubahan global jaman, pentas seni Calung harus dapat
menyajikan sebuah seni pertunjukan yang kreatif dan inofatif, sehingga pesan
yang akan disampaikan menjadi komunikatif.
Dari kenyataan diatas salah satu upaya
penyelamatan dari kepunahan seni Calung, kami dari Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Kuningan berupaya menampilkan seni Calung tersebut untuk
event-event nasional maupun internasional dalam rangka mengangkat citra
Kabupaten Kuningan sebagai daerah tujuan wisata alam dan budaya untuk
menyongsong cita-cita Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi terdepan dan termaju
tahun 2010.
Waditra
yang digunakan terdiri dari ;
Ø Calung
1
Ø Calung
2
Ø Calung
3
Ø Calung
4
Fungsi
dari masing-masing waditra ;
Ø Calung
1 sebagai melodi yang berperan sebagai dalang
Ø Calung
2 sebagai melodi 2 untuk mempertegas irama lagu
Ø Calung
3 sebagai pengiring lagu
Ø Calung
4 sebagai Goong
Dalam penampilan pentas seni Calung untuk
lebih memperkaya dan memperindah suasana penampilan pentas biasanya didukung
dengan jenis waditra lain seperti ;
Ø Kendang
Ø Terompet
Ø Saron
1
Ø Saron
2
Ø Demung
Ø Peking
Ø Bonang
Ø Goong
Ø Rincik
Ø Kenong
Ø Gitar
Ø Keyboard
Jalannya
pentas seni Calung ;
1. Tatalu
atau Bubuka (Overtone)
2. Perkenalan
secara keseluruhan oleh dalang
3. Tabuhan
Kreasi melalui gerak dan iringan lagu atau instrumetal
4. Pentas
lagu dari pemain atau juru kawih yang diikuti oleh tarian atau ibingan pemain
secara bergiliran
5. Lawakan
6. Tabuhan
kerasi
7. Dalang
memberi ucapan akhir
8. Tabuhan
/ Penutup
7.
BEDAH SITU
Kegiatan rutinitas desa Cilowa dalam rangka syukuran untuk mensejahterakan
rakyat banyak, terutama rakyat desa setempat (masyarakat desa cilowa). Situ
ditanami bibit ikan oleh pemerintah desa, selama kurun waktu ± 1 (satu) tahun
masyarakat desa cilowa boleh menikmati
hasilnya
dengan cara “ Bedah Situ”. Pada awal cerita Bapak Kepala Desa
memberikan arahan kepada masyarakat, yang inti arahannya yaitu bahwa Situ
adalah kekayaan kita, dipelihara oleh kita dan hasilnya bisa dinikmati bersama
oleh kita semua.
Semula yang boleh mengikuti rebutan ikan di
Situ hanyalah diutamakan masyarakat yang tidak mampu tapi pada kenyataannya
semua masyarakat yang hadir boleh turun untuk memungut ikan dengan cara
ditangkap oleh tangan. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Cilowa
Kecamata Kramatmulya Kabupaten Kuningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar